Selasa, 30 Juni 2009

Yang Gurih yang Berlumpur di Kafe Gusti


Jika lumpur biasanya dihindari, di Kafe Gusti justru dicari. Lumpur yang diambil dari tambak ikan itu digunakan untuk membungkus ikan bandeng segar sebelum dibakar. Hasilnya adalah ikan bandeng gurih, dengan citarasa orisinal.

Kafe Gusti terletak di kawasan wisata Pantai Randusanga Indah, Brebes, sekitar empat kilometer dari pusat Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Ada beberapa warung di kawasan itu, tetapi agaknya kafe ini yang paling sering didatangi pelanggan.

Mengapa memakai nama kafe, bukannya warung atau restoran, karena menurut pemiliknya, Slamet Raharjo (49), suasana dibikin mirip kafe. Maksudnya, ada fasilitas karaoke di warung ini, juga live music tiap akhir pekan atau hari-hari tertentu. ”Full music-lah,” kata Slamet yang dibantu 15 karyawan dalam menjalankan usahanya ini.

Bukan sekadar karena beberapa tabloid dan koran pernah menulis warung ini, tetapi karena memang rasa masakan Slamet yang bikin pelanggan kembali dan kembali ke Kafe Gusti. Ia membumbui sendiri semua masakannya, sedangkan sejumlah karyawan bertugas membantunya. ”Supaya kualitas terjaga, harus tangan saya sendiri yang masak,” kata Slamet yang menemani kami ngobrol di siang yang panas itu.

Penggemar bandeng

Bandeng memang sengaja dipersembahkan untuk penggemar bandeng sebab, menurut Slamet, tidak banyak orang menyukai bandeng dengan alasan banyak durinya. Untuk pencinta bandeng, Slamet menyediakan beberapa menu bandeng. Ada bandeng pepes lumpur, bandeng bakar lumpur orisinal (jeroan tidak dibuang), bandeng bakar lumpur tanpa jeroan, dan bandeng bakar/pepes lumpur cabut duri.

Bandeng kok dimasak beserta jeroannya? ”Justru di situlah letak gurihnya. Bandengnya orisinal. Lemaknya masih banyak,” sahut Slamet.

Jadilah kami memesan bandeng bakar lumpur orisinal. Kami melongok ke dapur, menyaksikan karyawan warung membungkus bandeng dengan lumpur, menaruhnya di alat pembakar, dan meletakkannya di atas bara. Lumpur ini kata mereka justru menambah gurih ikan lantaran diambil dari tambak ikan, bukan dari sawah.

”Manfaat lumpur itu salah satunya untuk menahan agar api tidak langsung mengenai daging bandeng. Jadi, yang gosong lumpurnya aja. Lumpur juga mengurangi kadar amis,” ujar Slamet.

Lumpur yang gosong itu sebenarnya membuat selera makan kami sedikit menguap. Namun, setelah lumpur terkuak, daging bandeng yang sama sekali tidak dibumbui itu tampak gurih. Kaget juga karena rasanya benar-benar gurih daging ikan, tidak ada rasa bumbu. ”Katanya tadi pesan orisinal, ya memang tanpa bumbu,” tukas Slamet.

Wah... wah..., memang gurih, tapi kalau ditambah nasi rasanya menjadi hambar. Bandeng orisinal ini paling cocok dimakan tanpa nasi alias dibuat camilan.

Bagaimana dengan bandeng pepes bakar Lumpur? Cara masaknya, ikan dibumbui dulu dengan rempah-rempah sebelum dibungkus dengan daun pisang. Setelah dikukus hingga 90 persen matang, barulah bandeng pepes itu diselubungi lumpur dan dibakar. Rasa gurih bandeng bercampur dengan rempah-rempah. Sedap….

Berani bumbu

Selain bandeng, menu unggulan lain adalah kepiting bakar asap dan udang bakar madu. Serba bakar ini adalah salah satu cara mempertahankan rasa asli bahan baku agar tidak terlalu ”tercemar” minyak goreng. Oleh karena itu, Slamet membubuhi banyak bumbu.

Kepiting bakar asap yang kami pesan, misalnya, begitu penuh dengan rempah-rempah. Kunyit, ketumbar, merica, kemiri, bawang merah, jahe, semua ada. Entah apa lagi. Lagi-lagi, rasanya juga sangat gurih.

Udang bakar madu tak kalah lezatnya. Selain rempah-rempah, udang ini dilumuri juga dengan saus, margarin, dan madu. Tiga sendok teh madu cukup untuk delapan ekor udang sekali masak. Udang yang telah dilumuri bumbu pun dibakar. Udang yang dipilih adalah jenis udang windu, yakni udang berwarna hitam yang berasa lebih manis dan berprotein tinggi.

Selain menu unggulan yang paling banyak dipesan itu, belasan menu lain ditawarkan pula di Kafe Gusti, termasuk tahu dan tempe. Kami pun menambah pesanan, yakni ikan pihi atau ikan sebelah (dua matanya berada di sisi yang sama) bakar serta kangkung oseng. Tak lupa es kelapa muda sebagai penyegar. Lengkaplah sudah menu makan siang kami.

Harganya? Rp 60.000 per porsi untuk kepiting bakar asap. Harga ini telah disesuaikan dengan ukuran kepiting. Kalau kepitingnya kecil-kecil, harga bisa Rp 40.000 per porsi. Untuk udang bakar madu yang rasanya khas itu, kami merogoh kocek Rp 80.000 seporsi (berisi delapan ekor udang windu besar).

Yang pasti, rasa gurih mendominasi semua menu masakan yang kami pesan. ”Masakan saya ini berani bumbu, kata orang sih tak kalah sama restoran berbintang, he-he-he. Gak pakai itung-itungan mahal atau murah, yang penting berkualitas dan proporsional,” kata Slamet. Untuk saus tiram, misalnya, ia memakai merek Lee Kum Kee.

Memang rasa gurih itulah yang dijual Slamet. ”Karena gurih itu menimbulkan kenikmatan, salah satu hal yang dicari orang saat makan,” ujarnya.




Sumber : Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar